Bahkan ketika Subuh jatuh di pelataran hotel ini, ketika embun mulai rontok, tak ada sedikit pun rasa dingin sanggup menempel di kulit.
Petugas hotel memberi senter kepada kami berdua.
Senter ini tak begitu ada gunanya, ucapku pelan. Agak jengkel dengan serba-serbi yang berbau seremoni. Kayak mau masuk hutan di tengah malam saja, lanjutku.
“Seharian kamu ngedumel terus, gak capek ya…” ucap Sahabatku sambil menggerak-gerakkan tubuhnya, seperti pemain bola sedang melakukan pemanasan dan peregangan tubuh.
Pagi ketika aku lolos dari gerombolan berpistol itu, aku menemuinya di hotel ini. Dia datang tepat pukul satu siang, lalu kami masuk ke dalam kamar hotel yang telah dipesannya. Oh, lolos… Aku bahkan tidak pernah tahu apakah mereka benar-benar mengejarku atau tidak.
Seharian di kamar. Semalaman di dalam kamar. Hingga usai Subuh baru kami keluar, menuju candi Borobudur yang terletak hanya berkisar sekian ratus meter saja dari kamar kami menginap.
Dia sibuk membaca buku. Aku sibuk menggerutu.
Dia memang punya kebiasaan sedikit nyeleneh. Menginap di hotel yang nyaman dan tergolong mahal, hanya untuk sekadar leyeh-leyeh dan membaca buku. “Waktu luang untuk membaca itu mahal, maka harus dipersiapkan dengan baik.” begitu ungkapnya suatu waktu kepadaku.
Dan begitulah yang biasa dia lakukan di akhir pekan. Hanya dengan berbekal tas kecil berisi pakaian barang satu atau dua setel, membaca barang satu atau dua buku, menuju bandara, lalu terbang sesukanya. Masuk hotel di sebuah kota yang disukainya, kota mana saja, lalu membenamkan diri di kamar barang satu atau dua hari, setelah cukup puas membaca buku, check out, lalu pergi ke bandara lagi, pulang ke kotanya.
Hobi yang mewah dan agak kurang ajar. Kukira begitu. Dia memang punya cara yang sedikit bajingan dalam memperlakukan uang, tapi sialnya, uang selalu menempel pada orang-orang seperti itu.
Dia pembosan yang cukup akut. Entah berapa kali dia berganti mobil. Bukan mobil mahal memang, tapi caranya berganti mobil sering memualkanku. Tak habis pikir. Suatu pagi ketika rasa bosan melilitnya, dia pergi menyetir mobil, datang ke dealer mobil yang mendadak ada di kepalanya, memilih mobil dengan agak iseng, lalu bilang ke sales mobil untuk melakukan tukar tambah. Tak pernah kudengar dia minta diskon. Transaksi selesai dalam hitungan kurang dari 30 menit. Dan dia sudah pulang dengan mobil baru. Mobil yang mungkin akan ditukarnya lagi dengan mobil yang lebih baru dalam kurang dari enam bulan ke depan. Selera isengnya mendekati kebiadaban. Tapi rezeki orang seperti dia memang kayak lem kayu. Lengketnya kuat. Dia memiliki semacam magnet terhadap uang. Bukan dia yang mencarinya. Tapi seperti kebalikannya.
Kenapa dengkulmu? Tanyaku. Sambil memasukkan senter yang tak berguna itu ke dalam saku celana.
Dia tertawa. “Jatuh saat main futsal.”
Masih main futsal, kamu? Hati-hati. Banyak orang cidera main futsal.
“Setiap orang harus punya cara untuk menjaga kewarasannya dan keawasannya. Kamu punya cara. Aku juga punya cara.
“Futsal membuatku waspada. Seperti misalnya kamu dengan tirakatmu.
“Kekalahan, rasa berada di paling bawah, harus terus diciptakan supaya, meminjam kalimat yang sering kamu bilang: supaya senantiasa eling dan waspada…”
Kami mulai naik candi yang menanjak. Rombongan bule mulai banyak terlihat. Para pemandu wisata mulai sibuk nyerocos. Kalimat-kalimat yang mungkin mereka ulang ribuan kali. Sudah seperti robot. Menjelaskan ini, ditanya itu, dijawab ini, direspons begitu, dijawab lagi dengan begini. Berulang kali.
Sampai puncak stupa. Aku kembali krenggosan. Dia, meskipun dengan dengkul yang lecet, terlihat tenang menaiki tangga.
“Kamu kurang berolahraga.”
Aku benci orang yang menasihatiku soal olahraga.
Dia tertawa.
Borobudur masih temaram. Bahkan tak ada rasa dingin di puncak candi ini.
Mereka tak akan mendapatkan sunrise seperti yang mereka inginkan.
“Bagaimana kamu tahu?”
Cuaca seperti ini tak memungkinkan matahari muncul dengan sempurna.
“Aku percaya. Untuk urusan matahari, kamu boleh lah…”
Dia tahu, aku pernah berpuluh kali ke Kuta hanya untuk menghitung peluang kemungkinan orang melihat matahari sempurna saat tenggelam. Dan aku membuat teori 16:1. Kalau seseorang pergi ke entah Kuta, Ulu Watu, atau di Tanah Lot, mereka butuh rerata 16 kali kunjungan untuk benar-benar bisa mendapatkan sunset yang sempurna. Kalau untuk sunrise perbandingannya 7:1. Datang saja ke Sanur atau Pasir Putih, dan buktikan teoriku itu.
Orang-orang mulai sibuk menata kamera. Saatnya para pemandu wisata beristirahat. Mereka saling bercengkerama. Ada yang merayakan untuk pertama kalinya dia memandu turis yang menginap di Hotel Aman Jiwo.
Aku memandangi hamparan belasan bukit yang mengitari Borobudur. Sambil memicingkan mata, mencoba menerka di manakah letak Punthuk Setumbu. Tapi mendadak, Sahabatku menggamit lenganku dengan cepat. Bergegas. Kami turun tiga lantai.
Semua orang berada di lantai puncak stupa. Hanya kami di lantai ini. Sepi sekali.
“Di sini….”
Apa?
“Di sini petunjuk rahasianya…”
Rahasia apa?
Dia diam. Berkeliling. Pelan. Berjongkok. Mengetuk-ngetukkan gagang senternya pelan ke lantai batu. Pindah. Melakukan hal yang sama. Beberapa kali.
Aku penasaran. Mau bertanya lebih lanjut, tapi aku tahu diri.
“Ini. Di sini.” ucapnya yakin. Ada gema tertentu yang berbeda saat dia mengetukkan gagang senter ke sebuah lantai batu kotak.
Lalu dia berdiri. Memejet jam tangannya. Memejet fitur kompas, pastinya.
“Di sana!” Pelan. Yakin. Bergumam.
Aku mengikuti arah tangannya menunjuk ke sebuah bukit.
Apa?
“Coba perhatikan…”
Aku mencoba memperhatikan. Tak ada apa-apa. Hanya bebukitan saja.
Dia mengambil teropong kecil di sakunya. Kecil sekali. Mirip pulpen. Lalu meneropong. Kemudian mengangguk-anggukkan kepala. “Coba lihat…” ujarnya sambil memberikan teropong itu kepadaku.
Rumah kecil itu?
Dia mengangguk mantap.
Ada apa?
“Sebentar lagi, kamu akan tahu.”