“Ada banyak hal yang kutakuti di hidup ini. Salah satunya adalah persepsi orang kepadaku. Juga pandanganmu kepadaku.” ujarnya sambil menuruni tangga-tangga candi yang agak curam, dengan kaki sedikit terpincang-pincang karena luka di dengkul kirinya.
Kulirik, hampir pukul delapan. Matahari cukup terik. Tak ada tanda-tanda musim hujan tiba sekalipun waktu sudah mulai menggerogoti penanggalan November. Kami berjalan menuju kompleks hotel.
Sepanjang perjalanan kami diam. Hanya suara langkah kaki kami. Juga orang-orang yang mulai membersihkan area candi. Debu berterbangan. Satu dua pegawai pengelola candi melintas dengan sepeda motor.
Kami berdua memang dekat. Sangat dekat bahkan. Tapi ada satu hal yang tidak pernah kami bicarakan: keluarga. Aku hanya tahu dia sudah menikah, punya satu anak. Umur anaknya sebaya dengan umur anakku. Hari pernikahannya pun hampir berbarengan dengan hari pernikahanku. Sehingga ketika aku menikah, dia hanya bisa datang di resepsi perkawinan. Serbatergesa. Ketika dia melangsungkan resepsi pernikahan pun aku hanya bisa datang sebentar, karena aku harus mempersiapkan pesta kedua di kampung halamanku. Serbabergegas.
Kami sarapan. Duduk berhadap-hadapan. Dia makan lahap sekali. Hal yang jarang kudapati. Sementara aku yang sebetulnya sangat lapar, mendadak segera kenyang begitu makan beberapa sendok. Selebihnya kopi.
Dia memberi kode kepadaku, seperti yang sudah-sudah, meminta kretekku. Aku mengangguk. Restoran hotel mulai berisik. Mulai ramai. Orang-orang sarapan.
“Banyak orang bertanya, kenapa aku tidak bisa marah…” pandangannya mengeriyip. Ke arah candi.
“Mereka keliru. Aku seorang pemarah. Dan jika marah, cenderung destruktif kepada diriku sendiri.”
Dia menyeruput cangkir tehnya. Beberapa burung gereja hinggap di rerumputan dekat kami duduk.
“Aku sangat kasihan dengan anak dan istriku. Orang-orang terdekatku. Dua orang yang kusayangi. Aku tidak mudah mengekspresikan rasa sayang. Tapi mereka berdua dengan mudah melihat bagaimana aku mudah mengekspresikan rasa marah…
“Kamu… bahkan mungkin belum pernah melihatku marah, dan beranggapan bahwa aku dikaruniai kesabaran yang menyentuh bulan.”
Aku diam. Kini dia mulai cerewet. Aku memberi tanda kepada pelayan restoran yang melintas membawa air putih. Gelasku diisi. Aku mengucapkan terimakasih.
“Aku membanting pintu. Menendang tembok. Membentak. Aku seorang pemarah yang tak mudah memperlihatkan rasa marahku ke orang lain. Aku hanya bisa marah di rumah, dan betapa kasihan anak dan istriku…”
Dia mengambil lagi kretek dari bungkusku. Kalo ini tak meminta izin. Baru ketika disulut, dia buru-buru melepaskan dan memberi tanda “bolehkah”, aku tersenyum geli.
“Ada orang-orang yang memang tidak boleh mudah marah. Dan kamu tahu, marah sebagaimana berahi, di berbagai ilmu tentang kebijaksanaan, harus dikendalikan. Tapi apakah benar kita bisa mengendalikannya? Terutama aku…”
Seekor burung gereja mendekat di kakiku.
“Sebetulnya apa itu yang disebut mengendalikan? Mengaturnya? Kenapa aku harus bisa mengekspresikan rasa marah kepada keluargaku dibanding orang lain?
“Aku punya kesimpulan: Orang yang kuat sekali menyembunyikan rasa marahnya, punya potensi kekejian yang luar biasa.
“Tapi aku bisa salah…”
Dia bangkit. Mengambil teh hangat lagi. Duduk lagi.
“Mungkin kemarahanku punya ikatan cara marah bangsa ini…”
Wah, mulai… Dia memang kerap menyambungkan hal, mengaitkan sesuati yang tak mudah. Bahkan cenderung mengada-ada.
Dia tersenyum. Tahu apa yang sedang melintas di batinku tentangnya.
“Yang ini serius…” ucapnya sambil agak menyorongkan kepalanya ke arah kepalaku.
“Coba perhatikan…” dia meraih potongan roti yang tak habis dimakannya, lalu merobeknya kecil-kecil, dan meletakkannya di meja.
“A bertikai dengan B tentang tanah warisan. C melihat, pertikaian itu penting sebab dia tahu bahwa di tanah warisan itu ada banyak harta. C mendukung A. C tidak mungkin mungkin mendukung B karena dia tahu, B tak mungkin membiarkannya mengeduk harta pusaka di tanah warisannya. C memberi bantuan dan dukungan penuh kepada A. Pertikaian terjadi. B terbantai…
“Seperti yang sudah dipikirkan oleh C, maka dia pun mulai mengeduk harta pusaka. Dia bangunkan anak-anaknya di atas tanah itu. E, D, G, H, dan banyak sekali anak C yang menikmati harta pusaka A. Lambat laun, keluarga A dan B mulai sadar bahwa ada sesuatu yang keliru tentang C dan anak-anaknya.
“Tapi C tak kurang akal. Anak-anaknya pun tak kurang akal. Mereka menuntut agar A bertanggungjawab atas kematian B. Dengan seluruh kepiawaian dan kecanggihannya, dengan didukung oleh kehebatan dan kepintaran anak-anaknya, C berhasil menyatakan kepada seluruh anak turun A dan B, bahwa pembantaian atas B adalah murni kebiadaban A. Dan A harus bertanggungjawab.
“Anak turun B mengangguk. Kemudian dia menjadikan C dan anak-anaknya menjadi pahlawan. A dan anak turunnya tak terima dipersalahkan. Lalu dia bongkar lagi kejahatan B sehingga A memang layak membasmi B. A dan anak turunnya sudah lupa lagi soal urun tangan C.
“Anak turun A dan anak turun B kini bertikai kembali. Pertikaian yang terus dibutuhkan oleh C dan anak turunnya.”
Aku diam. Kadang mengernyit. Penjelasan yang mudah kuterima, apalagi ditambah dengan cara meletakkan remahan-remahan roti. Tapi cerita ini soal apa?
“Soal yang beberapa hari ini kamu hadapi.”
Aku hadapi?
“Soal 65.”
Aku tertegun. Kembali aku diam dan berpikir tentang konfigurasi remahan roti di atas meja.
Tiba-tiba aku teringat Om Tan, kejadian di rumah makan di tepi hutan, orang-orang berpistol, pembubaran acara di hotel.
“Bangsa ini sekarang menjadikan C dan anak-anaknya pahlawan hanya karena mereka dengan segala cara menuntut A bertanggungjawab atas pembantaian B…
“Bangsa ini sudah mulai gila lagi…”