Aku baru benar-benar melihat taman belakang rumah Om Tan pagi ini. Malam ketika aku ke sini untuk kali pertam, ketika mendengarkan dia dan kawan-kawannya ngobrol, taman ini hanya pelengkap saja. Orang-orang dan perbincangan jauh lebih menarik. Tapi kali ini, taman di halaman belakang benar-benar memikatku.
Om Tan memasak di sebuah dapur yang tak jauh dari tempatku duduk. Wajahnya terlihat segar. Jujur saja aku tak begitu peduli dengan apa yang dia masak.
Taman ini sederhana saja. Tak terlalu besar, tapi ditata dengan apik. Kombinasi antara rerumputan dan bunga-bunga, juga bebatuan, disentuh dengan pas. Setidaknya begitu menurut ukuran dan penilaianku. Ada kolam kecil. Bersih. Ada gemercik air yang bersuara tak terlalu keras. Lembut.
Om Tan datang dengan dua buah piring besar berisi pisang goreng, telor, sayuran, dan sambal. “Bisa kan makan dengan cara seperti ini?”
Aku mengangguk.
Lalu dia masuk ke dapur, dan keluar lagi sambil membawa teko kecil dari porselen. Dia suka minum teh.
Lalu kami makan bersama. Beberapa ekor burung turun di rerumputan.
“Taman ini dibuat oleh bapakku. Kata ibuku, Bapak seorang insinyur sipil, dosen, tapi suka sekali dengan tanaman.”
Sambal ini enak sekali. Sebetulnya aku mau tanya apa resepnya. Tapi kupikir itu akan mengganggu obrolan yang baru saja dibukanya.
“Ibuku meninggal sepuluh tahun lalu. Saban pagi dan sore, dia selalu duduk di sini. Setiap pagi dia membaca 5 koran. Siang sedikit dia menulis. Lalu sore hari dia membaca buku di tempat ini. Malamnya, dia menulis lagi.”
Menulis apa, Om?
“Buku. Kadang-kadang dia menerjemahkan buku. Beberapa penerbit besar mempercayakan penerjemahan karya-karya luar kepada ibuku.”
Aku hampir saja bertanya, Om sendiri bekerja apa? Tapi buru-buru aku tarik dari kerongkonganku. Rasanya, tak sopan.
“Orang-orang sering ngobrol di sini. Termasuk sahabatmu. Awalnya hanyalah orang-orang tua kesepian macam aku.” Dia tergelak.
Aku teringat sahabatku yang mengantarkanku ke sini.
“Kami dipertemukan oleh hobi makan-makan, memasak, dan sejarah…”
Juga obrolan filsafat dan spiritualitas, sergahku.
“Ya, begitulah… Orang makin tua harus makin sering ngobrol dengan orang lain. Kalau tidak, hidup ini sepi sekali.”
Ada nada sedikit getir di kalimat yang barusan diucapkannya.
“Juga harus sering berpikir dan membaca buku. Paling tidak supaya tidak mudah pikun. Kalau tambah pintar sih sudah bukan saatnya lagi…”
Dia lalu menuangkan secangkir teh untukku.
“Kamu bisa mengingat jelas orang-orang yang hampir bertikai di rumah makan itu?”
Aku mengangguk. Lalu meraih cangkir teh. Menyeruput…
“Menurutmu, orang-orang yang mendatangi kita di hutan dan di ruang pertemuan itu apakah takut komunisme bangkit lagi?”
Mungkin, jawabku tak yakin. Itu pun setelah lewat beberapa detik dalam jeda.
“Mereka yakin komunisme akan bangkit lagi. Tapi orang di belakang mereka, yang mendesain ini semua, tahu kalau komunisme tak akan bangkit lagi.”
Aku diam. Mencoba mencerna. Tapi sesungguhnya juga menunggu kalimat-kalimat berikutnya.
“Hantu komunisme harus tetap diadakan. Kamu tahu kenapa?”
Aku sebetulnya mau menjawab. Ini pertanyaan yang terlalu remeh. Orang yang baru belajar politik, pastilah tahu soal ini…
“Anak muda sekarang terlalu arogan. Sehingga kadang terlalu kukuh menggenggam keyakinan mereka.”
Dia seperti tahu pikiranku.
“Hantu itu harus terus diadakan persis sama seperti kenapa komunis dulu harus dibasmi dari negeri ini.”
Aku mengernyit.
“Kamu pikir ini hanya sekadar mainan tentara atau polisi? Sesimpel itu?
“Negeri ini adalah negeri besar dengan sumberdaya alam yang besar. Dan pasar yang besar…
“Pengerukan sumberdaya alam yang besar dan penguasaan pasar yang besar, harus punya hantu besar yang terus dipercaya hidup. Supaya selalu ada cara untuk membasmi siapapun yang menghalangi penguasaan itu.
“Karena itu kadang-kadang hantu itu harus dimunculkan. Supaya terlihat ada. Dan mereka yang membiayai sendiri kemunculan hantu itu.”
Wah, ini sudah cara pikir konspiratif. Aku sudah sangat ingin membantahnya. Tapi entah mengapa, aku hanya diam…
“Pertarungan ini mengerikan sekali. Kompleks. Kepentingan dan aktor saling jepit. Coba kamu aku kasih tahu satu hal lagi. Jawablah jika kamu mampu. Kenapa semua yang ditangkap oleh pihak antirasuah di negeri ini selalu pengusaha dalam negeri?”
Konspirasi lagi, batinku. Ya tentu karena mereka yang menyuap para pejabat dan politikus, jawabku enggan, karena aku tahu jawabanku bakal dibantah.
“Memangnya Multinational Corporate, tidak ada yang menyuap pejabat kita?”
Ya belum tertangkap saja.
“Kamu yakin?”
Aku mengangguk tak yakin.
“Kamu tak yakin.”
Aku mengangguk tak yakin.
“Hantu itu dihidupkan oleh mereka. Memang ada orang-orang yang sepertiku, ingin semua masa lalu dituntaskan. Tapi ada yang ingin menghidupkan hantu komunisme itu terus. Agar selalu punya alasan untuk bisa mengeruk negeri ini. Persis ketika mereka lima puluh tahun lalu, harus membersihkan orang-orang kiri. Karena eksploitasi sumberdaya alam yang ingin mereka lakukan, tak akan jalan jika masih ada jutaan orang yang berkepala sosialis.”
Aku pikir obrolan ini sudah mulai menjemukan. Karena ada salah satu yang dominan.
Lalu siapa pihak lain yang membawa senjata di rumah makan itu, lalu mereka muncul lagi di hutan itu, hingga orang-orang yang menangkap kita harus lari nengejar mereka? Sebetulnya aku iseng saja bertanya seperti ini. Setidaknya supaya Om Tan tidak terus melakukan khotbah.
“Mereka tim berbeda. Tapi bohirnya sama.”
Lagi-lagi aku mengernyitkan muka.
“Sudah tidak usah bingung. Kalau aku ciptakan hantu, dan aku mau hantu itu harus dipercaya banyak orang, maka aku harus ciptakan makin banyak orang yang percaya. Kalau perlu, setiap orang bertikai, berebut kebenaran tentang siapa yang paling tahu tentang hantu itu.”
Aku diam.
“Kita masuk dalam permainan yang rumit, yang jika tak cerdas dan waspasa, kita akan digilas.”
Aku diam. Mencoba santai karena aku merasa bukan bagian dari “kita” yang disebutnya.
“Dan kita dari dulu, memang bangsa yang paling mudah diadu domba.”
Seekor burung hinggap di meja tempat kami makan. Pagi ini mendadak terasa mencekam.