Bagor punya banyak kawan. Salah satunya bernama Kapsul. Orangnya hampir setinggi Bagor, kurang dari 165 cm. Anak D3 Ekonomi juga.
Kalau Bagor magang di kantor EO, Kapsul nyambi bekerja di kantor Teknik UGM. Saya kenal Kapsul cukup baik. Sampai sekarang. Saya berani menyimpulkan bahwa Kapsul sangat cocok menjadi sahabat Bagor ketika suatu saat mendengar langsung dialog mereka berdua di kantin Filsafat.
“Gor, teman kita baru kena musibah…”
“Siapa?”
“Yani.”
“Musibah piye?”
“Yani meminjamkan sepeda motornya ke Agus. Lalu Agus menjual sepeda motor itu ke Lukman.”
“Lha letak musibahnya di mana?”
“Lho lha ya motor Yani yang dipinjamkan ke Agus dijual itu…”
“Lho piye to? Yani meminjamkan motor ke Agus. Letak kelirunya di mana? Yani sadar kan kalau dia meminjamkan motor ke Agus?”
“Ya Sadar, masak sambil pingsan…”
“Nah! Terus Agus menjual motor ke Lukman. Salahnya di mana? Agus dapat uang kan dari Lukman?”
“Ya dapat!”
“Lukman menerima motor kan?”
“Ya menerima!”
“Lha lalu musibahnya di mana?”
Kapsul terdiam. Dia terlihat mikir. Lama. “Lho, ngene lho Gooor… Itu yang dijual motornya Yani!”
“Memangnya orang jual-beli itu salah?”
“Ya enggak lah!”
“Makanya! Terus letak musibahnya di mana?”
Kapsul kembali terdiam. Sepasang matanya menerawang. Tangan kanannya dipakai untuk menahan rahangnya.
“Lho, gini Gooor… Yani kan merasa rugi!”
“Ruginya di mana?”
“Motornya dijual Aguuuuus!”
“Gak usah keras-keras… Kamu kayak orang caper kalau ngomong keras-keras…”
“Lha habis kamu goblok gak ketulungan…”
“Goblok gimana? Yani rugi apa? Wong Agus yang menjual motor, Lukman yang membeli motor. Kok bisa Yani yang rugi?”
“Lho, kowe ki kenthir po piye? Lha motor yang dijual itu kan motornya Yaniiiiii!”
“Malah untung to Yani.. Dia gak susah-susah, sudah ada yang menjualkan motornya…”
“Tapi…”
“Kamu sudah tanya ke Yani kalau dia rugi?”
“Ya enggak. Tapi kan dia cerita kalau motornya dijual Si Agus!”
“Coba kamu tanya ke Yani. Rugi gak dia?”
Kapsul terdiam lagi. “Gor, awake dhewe kekancan wis pirang tahun?”
“Sekitar 2 tahun.”
“Kowe ngerti ra bahwa selama aku kekancan ro kowe kuwi, aku tambah goblok?”
“Nah, nek kuwi kowe rugi. Nek mau, Yani ra rugi.”
“Gor…”
“Apa?”
“Konthol.”
Persis di saat itu, saya langsung tahu, mereka pasti sahabat yang cocok satu sama lain.
Kapsul termasuk sering pula main di kos saya. Terutama kalau sore hari, menjelang Magrib. Ketika dia pulang dari kerja magang.
Suatu saat, sehabis Magrib, Kapsul yang sejak sore ada di kos saya, pamitan ke kami berdua. Dia mau pergi sebentar, dan kami diwanti-wanti jangan makan malam dulu. “Bener lho ya… Jangan makan dulu.”
Demikianlah kemudian kisah yang terjadi. Kisah ini selalu saya ingat setiap ketemu Kapsul.
Pagi hari sebelumnya, sehabis kuliah, Kapsul menemui teman cewek satu angkatannya. Sebut saja bernama Rina. “Rin, aku mau ngomong sama kamu…”
Lalu mereka berdiri berdua di dekat tangga. “Ngomong apa, Sul?” tanya Rina penasaran.
“Gini, Rin. Ini penting. Menyangkut perasaan. Gak bisa diomongkan sekarang. Gimana kalau nanti malam saja? Kamu di kos kan?”
“Mbok sekarang saja, Sul…” pinta Rina dengan muka mulai pucat dan agak waswas.
“Gak bisa, Rin… Aku mohooon… Ini soal rahasia. Soal hidup dan mati. Nanti malam ya…”
Dengan muka makin pucat dan waswas, Rina menganggukkan kepala. Sejak saat itu, seandainya kisah itu saya ketahui sejak awal, pasti Rina mulai membuat alasan sebaik mungkin untuk menolak apa yang akan disampaikan oleh Kapsul malam harinya.
Jam tujuh malam lewat sedikit, Rina dan Kapsul sudah berhadap-hadapan, di ruang tamu kos Rina. “Gimana, Sul? Ada apa?”
Muka Kapsul agak kusut. “Aku bingung. Apa ini saat yang tepat untuk menyampaikan ya…”
“Ya sudah, sampaikan saja, Sul…”
“Tapi anu ya Rin, misalnya nanti kamu gak bisa, kamu bisa menolaknya…”
“Iya, Sul…” muka Rina makin pucat.
“Kamu yakin siap, Rin?”
“Sudahlah, Sul… Apa?”
“Begini, Rin… Aku itu… Tapi kamu gak apa-apa ya, Rin?”
“Gak apa-apa, Sul…”
“Begini, Rin… Aku itu baru gajian tanggal lima.”
Rina terdiam.
“Sekarang baru tanggal satu.”
Rina mengernyit.
“Kamu gak apa-apa kan, Rin?”
Rina menggelengkan kepala cepat, sambil mukanya masih mengernyit.
“Masalahnya adalah, uangku sudah habis. Untuk makan malam ini saja, cuma ada uang seribu rupiah.”
Rina bengong.
“Kamu keberatan gak kalau aku pinjam kamu uang 50 ribu? Nanti kalau pas gajian tanggal 5, aku balikin…”
Rina bengong. Tapi kemudian mukanya jadi cerah. Dia masuk kamar, lalu keluar dengan muka sumringah. “Ini! Gak usah kamu bayar!” ucapnya sambil memberikan uang 50 ribu.
“Lho jangan gitu, Rin… Nanti aku bayar…”
“Sudah gak usah!”
Kisah itulah yang diceritakan kepada kami berdua ketika Kapsul pulang sambil kami menikmati tongseng yang dibawanya.
“Nah, sekarang aku bagi-bagi rezeki dengan kalian…” ucapnya di antara suara kecap mulut kami.
“Pulangnya, aku mampir ke tempat sengsu ini untuk kita makan bersama. Bagi-bagi rezeki.”
Tiba-tiba Bagor menghentikan kunyahannya. “Apa, Sul?”
“Lha ya ini, aku beli sengsu buat kita bertiga…”
“Sengsu?”
“Lha iya.”
Bagor langsung ke halaman kos melepeh makanan di mulutnya. “Asu!”
“Lha ya nek sengsu ki asu. Mosok wedhus.”
“Lha kamu tadi kamu ngomong: tongseng!”
“Lha ya, sengsu kan tongseng asu.”
Bagor masuk ke kamar mandi. Terdengar berkumur.
Kapsul melihat ke arah saya. “Nek kowe mangan asu ra, Thut?”
“Ora!”
“Lha kok ra mbok wutahke pangananmu? Jangan dimutahkan dulu. Dirasakan dulu… Jangan pakai asumsi, to.. Dirasakan. Dinikmati. Baru dinilai…”
Sambil terus mengunyah, saya berpikir, orang di depan saya bernama Kapsul ini memang cocok jadi sahabat Si Bagor.