Sudah hampir sebulan, Raga bikin geger keluarga besar dan lingkar temannya. Setelah melalui sekian obrolan yang menyita energi dan emosi, tiba-tiba Raga membuat keputusan di luar dugaan: dia hendak menyewa pengacara dan menuntut kejelasan anaknya.
Keluarga besarnya panik. Teman-temannya cemas. Akhirnya mereka sepakat berkumpul bersama agar urusan ini tidak panjang dan memalukan.
Lebih dari 20 orang berkumpul di salah satu rumah teman Raga. Akhirnya, Om Yatno, salah satu perwakilan dari pihak keluarga membuat pengantar ringkas. Isinya, menerangkan bahwa Raga mau menuntut bekas pacarnya yang sekarang sudah menikah dengan orang, agar memperjelas status anak mereka. Arga merasa anak pasangan itu adalah anaknya.
Begitu selesai Om Yatno bicara, Raga lansung menyambung. “Aku makin bulat. Besok aku akan menemui temanku yang pengacara. Aku mau perkarakan kasus ini. Aku yakin kalau anak itu adalah anakku.”
Laki-laki berusia 31 tahun itu tampak emosional. Mukanya memerah. Giginya kerot-kerot.
Fawaz, yang datang jauh-jauh dari Yogya ke Surabaya, kemudian menimpali. “Ga, menurutku sih kamu terlalu emosional. Selain mengganggu rumah tangga orang, pikirkan kalau ternyata anak itu bukan anakmu… Kan kasian keluarganu, Ga…”
“Ya makanya harus tes DNA!” sambar Raga dengan suara menggelegar.
“Tapi kan untuk menuju tes DNA, bakal bikin geger, Gaaa… Mbok dipikir yang jernih…” ujar Hakim, sahabat Raga yang paling disegani dari Kalisat.
“Lha terus kalau gak pakai tes DNA, gimana cara membuktikannya?!” sergah Raga seperti makin ingin meletup saja emosinya.
Salah satu tantenya yang datang dari Tulungagung dengan agak takut-takut, akhirnya mengeluarkan suara, “Ga, kasus ini lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Kalau kamu teruskan, kamu menang pun akan ada korbannya. Yaitu mantanmu dan suaminya. Kalau kamu keliru, korbannya juga banyak: teman-temanmu, mantanmu, suaminya, keluarga besarmu. Semua bakal menanggung malu…”
“Terus kalian enggak kasihan sama aku?! Kalian memang egois!” Suara Raga melengking, mendekati suara orang histeris.
Bachtiar dan Kernet, dua kawan Raga yang duduk berdampingan saling berbisik. Akhirnya Bachtiar angkat suara. “Ga, oke. Gini saja. Aku dan Kernet berpendapat bahwa apapun yang kamu lakukan, kami akan dukung. Itu risiko pertemanan.”
Raga memandang ke arah mereka. Matanya masih mendelik memerah.
“Tapi tolong jawab pertanyaanku dengan jujur…” lanjut Bachtiar.
“Ya. Tanya saja…” jawab Raga dengan ketus.
“Ngene, Ga. Koen kapan terakhir ngenthu arek-e iku?”
“Ngenthu gimana?”
“Ngenthu kok gimana? Ngenthu ya ngenthu! Arek wis gede kok takon ngenthu gimana!”
Raga diam. Seperti berpikir. Lalu dia menggelengkan kepala.
“Koen lali?” Bachtiar memepet.
Raga tampak bingung. Kembali dia menggelengkan kepala.
“Susah nek koen lalu, Ga… Ojok-ojok, koen terakhir ngenthu dheke wis 2 taun kepungkur. Ya gak masuk akan nek bayine iku anakmu.”
Raga terdiam.
“Mosok sih, koen ngeling-eling ngenthu terakhir wae lalu, Ga?”
Raga masih terdiam.
“Cak, jangan teruskan.” tiba-tiba Kikik memotong Bachtiar.
“Lho iki penting, Kik!” Bachtiar mulai emosi.
“Bentar, Cak! Aku mau tanya ke Raga hal yang jauh lebih penting.” Kikik lalu memalingkan mukanya ke arah Raga. “Ga, jawaben jujur ya… Koen wis tau ngenthu mantanmu iku tah?”
Semua orang terhenyak. Kaget. Penasaran. Suasana hening. Semua mata melihat ke arah Raga. Semua mata menekan ke arahnya.
“Ga, jawaben, Cuuuuk!” kejar Kikik.
Raga kemudian menggelengkan kepala.
“Jancuuuuuuuk!” seluruh ruangan horeg. Penuh pisuhan. Semua kata kotor berterbangan di ruangan itu.
Bachtiar langsung berdiri sambil berkata, “Koen iku gendeng, Gaaaa! Ngencuk wae ora kok meh ngaku-ngaku nduwe anak. Tembelek, Cuuuuuk!”