Seorang pemuda kampung yang baru saja dilantik menjadi ketua takmir masjid, datang ke seorang alim. “Puasa tahun depan, target saya, masjid akan beraktivitas selama 24 jam. Beribadah total. Bagaimana menurut pendapat Pak Yai?”
“Saya gak setuju, Mas.” ucap sang alim yang disebut Pak Yai itu tanpa basa-basi.
“Lho kenapa, Pak Yai? Bukankah bagus kalau masjid berisi kajian, tadarusan, dzikir, i’tikaf, dll?”
“Ya bagus-bagus saja. Masalahnya adalah kalau kamu menganggap bekerja itu tidak ibadah. Momong anak, memasak, tidur, bercanda dengan keluarga dan tetangga, itu semua ibadah. Kalau kamu menganggap itu semua ibadah, tidak perlu menghidupkan masjid 24 jam. Untuk apa? Ibadah kan bukan hanya di masjid, tapi juga di pasar, di jalanan, di sawah, di keluarga. Semua.”
Pemuda itu diam. Dia ingin sekali membantah. Tapi sebelum dia membantah, orang alim itu bilang, “Kecuali sebetulnya niat utamanya bukan itu. Misal, karena pengurus baru, maka sampeyan pengen dapat respek dan tepuk tangan warga…”
Muka pemuda itu memerah. Lalu dia pamitan.
Salah satu murid yang kebetulan mendengar dialog itu lantas bertanya ke si alim. “Pak Yai, kok tumben Anda bilang ceplas-ceplos begitu?”
“Setiap sikap yang didasari arogansi harus segera dilembekkan. Ditaklukkan. Kalau tidak, mudaratnya besar sekali. Dia pikir orang mencangkul di sawah bukan ibadah. Yang ibadah hanya sedang di masjid. Nanti lama-lama semua hal salah di matanya. Sebelum semua itu terjadi, kepalanya harus diajari lagi mencium tanah.”