Tidak banyak hal yang kupersiapkan untuk melawat ke Timur. Tapi ada satu hal yang sangat mengganggu perasaanku: Salim Kancil.
Menurut beberapa media massa yang kuikuti, Salim seorang petani biasa. Dia menolak tambang pasir besi di wilayahnya, yang sudah terbukti membuat kerusakan lingkunganan juga kerusakan jalan. Semua berlangsung dalam horor. Puluhan orang mendatanginya di sebuah pagi, Salim yang saat itu sedang menggendong cucunya, segera lari ke dalam rumah. Tapi gerombolan hitam itu cepat menemukannya. Dia ditali. Diseret sambil dipentungi. Menuju ke balai desa. Tubuhnya dicabik-cabik oleh celurit dan cangkul. Tapi konon, Salim belum mati.
Horor itu terjadi di tempat umum. Dilihat banyak orang. Bahkan anak-anak kecil yang sedang sekolah PAUD di balai desa menjerit histeris. Kebiadaban digelar dan dipertontonkan di depan anak-anak kecil. Di balai desa itu, Salim terus disiksa dan disetrum. Hingga sebongkah batu mengakhiri nafasnya. Dihantamkan ke kepala laki-laki berumur 52 tahun itu.
Jenasah Salim kemudian dibuang di dekat pemakaman desa.
Gerombolan gila itu sebelumnya juga mendatangi dan menyiksa Tosan. Laki-laki berumur 51 tahun yang juga menolak tambang besi itu, mengalami penyiksaan parah. Selain dipukuli dan dipentungi, juga dicelurit dan dicangkul, tubuhnya ditelentangkan di jalan, lalu dilindas sepeda motor. Kekejian yang sungguh brutal. Tapi nampaknya takdir kematian belum jatah Tosan. Sampai pagi ini, hampir semua berita yang kubaca, masih menyatakan kalau Tosan masih dalam perawatan intensif di sebuah rumah sakit.
Tambang. Kebrutalan. Massa yang beringas. Masyarakat menyiksa masyarakat yang lain. Ikut meneror. Ikut menyiksa. Ikut membunuh. Masyarakat bertarung dengan masyarakat yang lain. Untuk apa? Untuk siapa?
Salim dan Tosan bertempat tidak jauh dari segala pusat informasi dan aparat keamanan. Mereka masih tinggal di Pulau Jawa. Bagaimana dengan kejadian-kejadian di luar Pulau Jawa?
Kemudian aku teringat kisah yang dituturkan tokoh yang menguasai paleografi beberapa hari lalu. Dia berkisah tentang mafia penggali artefak sejarah. Jaringan mereka rapi dan kuat. Tempatnya tak jauh amat dari kampung Salim Kancil. Kalau aku jadi ke sana, aku melewati daerah sekitar Salim dan Tosan.
Penduduk yang mengeduk kuburan, membongkar menhir, adalah penduduk biasa yang hidup dalam garis kemiskinan. Upah mereka jika mencangkul di sawah seharian sebesar 30.000 rupiah. Sementara jika mereka menggali kuburan tua akan dibayar sehari 50.000, belum bahan makanan yang disuplai gratis, belum bonus jika mendapatkan barang-barang berharga. Mereka juga dibekali dengan gawai canggih sehingga merasa modern. Padahal fungsi utama dari gawai itu supaya ketika mereka menggali, bisa langsung memotret apa saja yang mereka dapatkan. Pesan yang cepat, membuat keputusan ekonomi pun berlangsung cepat.
Apakah yang terjadi pada Salim dan Tosan tidak terendus oleh aparat keamanan? Tidak mungkin. Bahkan mereka sudah melaporkan kalau akan ada ancaman pembunuhan. Apakah penggalian kuburan tua juga tidak terendus oleh aparat keamanan? Juga tidak mungkin. Sudah banyak yang melaporkan.
Memang sekali waktu, aparat mencegat iring-iringan 20 truk yang berisi benda-benda antik hasil galian. Hanya satu truk yang ditahan. Sementara 19 truk lain dibiarkan meneruskan perjalanan ke Bali. Dan yang satu truk itu pun, tak lama kemudian lolos lagi.
Aku hidup di sebuah negeri yang seperti itu. Juga kamu.
Tapi bagi orang yang daerahnya kena tambang, semua memang tidak semudah yang dibicarakan orang. Kamu bukan hanya sedang berhadapan dengan orang-orang yang kelaparan, kamu juga bakal berhadapan dengan teman-temanmu sendiri. Teman-teman sekolah SD, SMP, dan SMA. Mereka bekerja di sana, di perusahaan itu.
Kamu juga bukan hanya memikirkan keselamatanmu tapi juga keselamatan orang tuamu, keselamatan anak dan cucumu. Keselamatan yang tak mudah dijaga. Mereka bisa dicederai dan disikat kapan saja. Sebagaimana kamu bisa dibunuh kapan saja seperti Salim Kancil.
Dari ujung ke ujung Pulau Jawa, konflik sumberdaya alam seperti itu sedang memanas. Sedang menuju puncaknya. Pilihanmu tidak banyak. Kalau kamu menang, kamu bisa mati. Kalau kamu kalah, kamu bisa mati. Tapi kadang di hati banyak orang yang sedang berjuang, nyawa diri sendiri mungkin bisa diwakafkan. Tapi tak siap mengorbankan nyawa keluarga.
Maka dua hari ini adalah hari-hari yang sendu. Hari-hari yang membuatku mudah marah terhadap diri sendiri. Negeri ini sedang menuju ke titik terbakar. Lalu sebelum semua terbakar, diri ini sudah terlebih dulu gosong.
“Kita berangkat jam berapa, Mas?” pesan pendek dari Rus tiba.
Aku belum tahu. Tapi yang jelas besok. Mungkin siang. Mungkin sore. Mungkin malam.
“Baik, kabari saja, Mas. Tapi saya mohon maaf jika nanti sering berhenti di pom bensin.”
Tak mengapa. Memang kenapa?
“Saya kalau nyetir, libido saya gampang naik.”
Terus?
“Saya harus sering-sering ngocok, Mas.”
Bangke. Batinku. Ya terserah kamu. Kamu ngocok kontolmu sendiri.
Aku kemudian menelepon salah satu sahabatku, redaktur sebuah koran di Timur yang sangat terkenal.
Kamu bakal menginvestigasi kasus Salim?
“Koranku iya. Tapi bukan aku kayaknya.”
Boleh aku dilibatkan atau setidaknya terus mendapatkan pemutakhiran informasinya?
“Ya bisa. Apa yang tidak untuk kamu…” jawabnya sambil becanda, untuk membuat rileks suasana.
Ok, besok aku berangkat. Ada hal lain yang perlu kukabarkan ke kamu. Tentang lawatanku kali ini.
“Aku tak sabar menunggumu.”
Aku melihat wajah istriku yang sedang tidur. Wajah anakku yang sedang tidur. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jika mereka menyaksikan aku tiba-tiba didatangi segerombolan orang. Disiksa. Diseret. Digorok di depan mereka.
Salim Kancil. Negeri ini memang biadab. Bukan negeri yang ramah seperti yang selalu dibilang banyak orang. Tapi ini negeriku.
Akhirnya aku beranjak pergi ke rak buku. Memilih salah satu deretan buku yang belum kubaca. Mengambil satu. Bekal untuk perjalanan ke Timur.
Tiba-tiba sebuah pesan masuk lagi. Dari sahabatku, “Jadi berangkat kan? Hati-hati. Ini bukan perjalanan biasa.”
Aku menghela nafas panjang. Lalu menyalakan rokok sambil menunggu azan Subuh.