Sore tadi, saya bangun tidur, dan perut terasa lapar. Kali yang tidur di samping saya juga tampak baru bangun. Seperti biasa, dia bermanja ria, merangkul saya, menciumi saya, dan bercanda.
Akhirnya saya bilang ke dia, “Kali, Bapak lapar. Bisa minta tolong dibuatkan Indomie?”
“Kali tidak bisa. Ibu yang bisa.”
Saya sih sebetulnya tahu kalau Kali belum bisa memasak mi instan. Saya cuma iseng saja. Lalu saya kluntrung-kluntrung ke dapur, membuat Indomie rasa ayam bawang. Kebetulan saya punya stok irisan tuna yang sudah dimasak bumbu merah, oleh-oleh dari Pak Roem. Ada juga sate ampela.
Jadilah tiga sendok irisan tuna saya tuang di mangkok, sate ampela saya iris kecil-kecil, dan tentu saja rajangan cabe rawit. Begitu mi instan masak, saya tuang di mangkok, lalu saya angkat ke meja makan, siap disantap.
Eh, Kali muncul di dapur. “Bapak, Kali juga mau makan mi.”
Saya mengangguk. Biasanya dia memang minta makanan yang saya makan. Tapi kalau pedas, dia tidak mau. Jadi saya tahu kalau Kali salam sekali suap, pasti tak akan mau lagi ikut menyantap mi bikinan saya.
“Kali minta dibuatkan satu.” ujarnya sambil menuju ke rak penyimpanan mi instan, mengambil satu, lalu diberikan ke saya yang dalam posisi sudah sangat lapar dan bersiap menandaskan semangkuk mi di hadapan saya.
Waduh, cilaka. Kali belum boleh makan mi instan, dia hanya boleh sesekali mencicip. “Kali akan Bapak buatkan, tapi tunggu Ibu ya… Sebentar lagi Ibu pulang. Kalau Ibu boleh, Bapak akan bikinkan kamu.”
Kali mengangguk. Lalu meletakkan bungkusan mi instan itu, terus naik ke kursi, merebut mangkuk mi saya. “Kalau begitu Kali makan ini saja.”
Saya tahu, tak mungkin merebut mi itu lagi. Dia mewarisi sifat keras kepala saya. Saya diam. Air liur berkali-kali saya telan. “Ya sudah, dimakan ya…” pinta saya sembari berharap di akan segera menyendok mi itu, kepedasan, lalu menyerahkan lagi ke saya.
“Ini kan masih panas, jadi tunggu dingin dulu…”
Aroma mi instan itu makin membuat saya kelaparan. “Kali, nanti kalau didiamkan, mi itu jadi gendut. Jadi gak enak dimakan.”
“Tapi ini kan panas. Kali kan gak boleh makan yang panas.”
Saya mulai mencari akal, di diri saya sudah mulai membaur antara rasa lapar, semangkuk mi yang menggoda, dan rasa khawatir mi itu tak lagi enak karena dingin dan gendut.
Saya ambil setoples kacang bawang. Kali suka kacang, sebagaimana saya.
“Kali mau kacang?”
“Mau. Kacang kalau dicampur mi enak gak, Pak?”
Wah, blaik. Tetap kukuh dia mau makan mi. Apalagi ya…
“Kali mau coklat?”
“Coklatnya nanti setelah makan mi.”
Asem. Kali mulai mengaduk-aduk mi itu dengan sendok dan garpu. Aroma mi itu kembali menyebar. Saya melihat irisan tuna dan ampela. Duh… Ya Allah, hambamu lapar!
Saya sempat berpikir untuk menelepon istri saya. Tapi kalau dia nanti balik, mi itu sudah bakal menggendut, dingin, dan tak enak lagi.
Ya Allah, berilah saya ide cemerlang untuk membujuk bocah kecil itu mau melepas semangkuk mi yang dia gak akan doyan itu…
“Ayo dimakan, Nak…”
“Masih panas, Bapak…”
Dia terus mengaduk-aduk mi itu. Saya nyaris putus asa. Mendadak irisan cabe merah menyembul. Kali langsung berteriak, “Ada cabenya! Huh hah! Kali gak mau!”
Dia langsung turun dari kursi menuju kamarnya. Allahu akbar! Segera saya saut mangkuk mi itu, siap bertarung!