Belum jam tujuh pagi, Andy Sri Wahyudi sudah mengetuk pintu rumah Kusen Alipah Hadi. “Bung Kus, Bung Kus!”
“Ngapa kowe, Ndy? Esuk-esuk bengak-bengok… Ra penak tangi turu njuk nyawang raine situ…” wajah Kusen kriyip-kriyip terlihat mangkel begitu membuka pintu.
“Wah, Bung Kus ini jan mestinya bersyukur punya kawan sepertiku.. Pagi-pagi begini paling enak nyoto sambil ngomong kabudayan.”
Merasa percuma berdebat dengan manusia yang prejengannya mirip Patih Sengkuni ini, Kusen langsung nyahut jaket.
“Pake vespane situ saja, Bung Kus.. Biar nggaya. Vespa antik saya ditinggal ndik sini saja.”
Kusen balik lagi ambil kunci vespanya. Tapi kemudian langsung disaut sama Andy. “Priyayi macam Bung Kus ini tidak cocok kalau di depan. Biar saya yang mbonceng situ.”
Mereka berdua ngeblas. Sambil kepala Andy gelang-geleng, seakan ingin memperlihatkan kepada dunia bahwa dialah pemilik vespa kinclong itu.
Mendadak di depan mereka, para polisi berjejer melakukan cegatan. Kusen langsung nyablek pundak Andy, “Jindul, aku lali nggawa dompet.”
Kontan Andy langsung mengerem. “Lha terus gimana, Bung Kus?”
Tapi belum sempat mereka bicara lebih panjang, dua orang polisi langsung mendatangi mereka. “Surat-suratnya mana?”
“Wah, maaf ketinggalan, Pak…” jawab Andy sambil ingah-ingih.
“Ya sudah, ditilang. Langsung bayar di sana!” ujar Polisi tersebut sambil menunjuk deretan orang yang kena tilang.
Andy lalu menatap wajah Kusen. “Ngapa Ndy? Ya gek ndang diurus!” ucap Kusen masih merasa jengkel karena pagi harinya dirusak dengan kemunculan Andy.
“Anu je Bung Kus… Saya juga nggak bawa dompet…”
“Lha kok isa kowe ra nggawa dompet? Mau kan kowe ngajak tuku soto?”
“Lho benar saya ngajak nyoto, tapi kan saya tidak bilang akan nraktir situ…”
“Wooo lha jinguk!”
“Sudah gini saja, Bung Kus. Pasrahkan semua ke saya. Pasti beres. Saya pinjam jaket situ.”
Kusen mau membantah tapi karena antrean orang makin panjang dan matahari kian terik, dia segera mengulungkan jaketnya, kemudian mencari tempat berteduh. Dia melihat Andy menuju bakul dawet, minum dawet dengan cepat, lalu terlihat antre membayar tilang.
Andy datang lagi sudah dengan naik vespa. “Ayo Bung Kus, naik!”
Sambil nyemplok mbonceng vespa, Kusen bertanya, “Jaketku neng ngendi je?”
“Saya titipke bakul dawet.”
“Maksudmu piye?” nada bertanya Kusen meninggi.
“Tenang to Bung Kus… Kita kan tidak punya uang, jaket-e situ tak pakai jaminan pinjam uang ke bakul dawet. Dipinjami 50 ribu.”
“Wah bajindul! Regane jaketku ki isa nggo nanggap kowe 3 sasi!”
“Bung Kus, mbok jangan marah to… Biar saya yang bayar uang pinjaman bakul dawet itu.”
“Ya karepmu!” ucap Kusen dengan nada sengak.
Tiba-tiba Andy mengarahkan vespanya ke arah rumah Pak Ong. Jegrek. Kebetulan yang punya rumah sedang asyik pegang hape sambil ngopi dan udud.
“Sugeng enjang, Pak Ooooong!”
Pak Ong langsung maktratab begitu mendengar sapaan Andy. Segera dia mempersilakan Kusen dan Andy duduk. Kemudian menawari kopi.
“Satu gelas saja, Pak Ong…”
“Lho kok isa?”
“Lha ini Bung Kus kesusu. Anu, Pak Ong.. dia ketilang polisi tapi lupa bawa dompet. Tadi ndodok tempat saya tapi saya lupa naruh ATM. Mbok dipinjami to, Pak Ong…”
“Pira?”
“Seket ewu saja, Pak Ong.”
Pak Ong segera merogoh kantongnya, lalu mengulungkan uang 50an ribu ke Kusen yang wajahnya tegang nyaris tak percaya digarapi Andy. Tapi karena ngeman jaket barunya, segera dia ngeblas.
Setelah Kusen pergi, Pak Ong mau masuk rumah untuk bikin kopi.
“Pak Ong, gak usah repot-repot to… Wah, pagi gini nyoto sambil ngomong senirupa kayaknya cocok ya…”
Pak Ong yang perasa itu segera tanggap. “Ayo, Ndy… Kita nyoto.”
Andy jemranthal, nggamblok di boncengan Pak Ong.
Di tempat lain, Kusen eyel-eyelan dengan bakul dawet. Karena menurut Si Bakul Dawet, Andy pinjam 55 ribu. “Yang 5 ribu berupa segelas dawet, Mas!”
Kusen akhirnya kluntrung-kluntrung menuju ke arah vespanya sambil mengumpati Andy. Sementara itu yang diumpati sedang telap-telep makan soto sambil menggigit sate brutu.