Seorang kepala cabang sebuah perusahaan terkemuka yang bertugas di Yogya, suatu saat mengalami apa yang sering dialami oleh kebanyakan manusia modern: semacam kekeringan batin. Dia lalu mulai membaca buku-buku spiritual. Namun salah satu sahabatnya memberi nasihat, selain mencari pengetahuan lewat buku, ada baiknya juga menemui orang-orang yang mendalami spiritual. Mulailah, Sang Kepala Cabang itu menemui beberapa orang yang dianggap punya pengetahuan dan laku spiritual.
Setelah menemui belasan pelaku spiritual, dia tetap tidak mendapatkan apa yang dicarinya. Hingga akhirnya dia berkonsultasi lagi dengan sahabatnya yang memberi anjuran itu.
Si Sahabat kemudian memberi saran: ada salah seorang guru spiritual yang cukup mumpuni dan mungkin cocok dengan katakter Sang Kepala Cabang. Hanya saja Sang Guru tersebut bermukim agak jauh yakni di sebuah daerah di Kalimantan Selatan. Si Kepala Cabang tidak masalah dengan itu, apapun akan dia lakukan, asal apa yang dicarinya selama ini didapatkan.
Kemudian terbanglah dia ke Kalimantan Selatan untuk mencari Sang Guru tersebut. Ketika akhirnya bertemu dengan sosok yang dicarinya, Sang Kepala Cabang itu langsung menyatakan keinginannya.
“Sebaiknya apa yang saya lakukan, Pak?”
Sang Guru menatap lekat wajah di depannya. Sang Kepala Cabang menundukkan kepala, serasa tidak bisa menatap lama wajah yang penuh kharisma itu.
“Anda serius dengan keinginan Anda?”
“Saya serius, Pak.”
“Tapi ini agak berat syaratnya. Apakah Anda sanggup?”
“Insyaallah, Pak..”
“Anda akan saya ajari berwudu yang benar dulu.”
Di dalam hati, Sang Kepala Cabang ini membatin, “Wah, wudu? Apa susahnya?” Tapi dia berusaha menyingkirkan pikirannya yang mengentengkan hal itu. “Mungkin wudunya beda…” batinnya lagi.
Mereka berdua lalu menuju ke tempat wudu. Sang Guru memberi contoh dari mulai niat sampai caranya berwudu. Lagi-lagi, Sang Kepala Cabang membatin, “Ini sih cara wudunya tidak ada beda dengan yang saya lakukan setiap hari…”
Usai dia mengikuti tata aturan wudu yang tidak berbeda dengan yang selama ini dia lakukan jika mau salat, Sang Guru berkata, “Anda lakukan itu selama 3 bulan ya…”
Lagi-lagi, Sang Kepala Cabang membatin, “Lama amat tiga bulan?”
Kemudian terdengar suara Sang Guru lagi. “Di bulan pertama Anda melakukan ini, Anda tidak boleh memerintah siapapun.”
Sang Kepala Cabang agak terkejut. Dia mulai membayangkan bagaimana dengan pekerjaannya jika tidak boleh melakukan perintah. Tapi dia berpikir rasanya tidak susah. Pasti dia bisa. Pasti ada cara. Dia lalu mengangguk mantap.
“Bulan kedua, Anda tidak boleh melarang siapapun.” ujar Sang Guru.
Sang Kepala Cabang terkejut lagi. Kemudian dia berpikir, agak susah juga ini. Namun dia tetap punya keyakinan bisa melakukannya. Kemudian dia mengangguk mantap lagi.
“Bulan ketiga, Anda berpuasa.” lanjut Sang Guru.
Kali ini Sang Kepala Cabang lebih cepat mengangguk. Rasanya yang ini lebih mudah, toh dia selama ini juga melakukan puasa Ramadan sebulan penuh.
“Kalau sudah selesai, Anda ke sini lagi.” ucap Sang Guru.
Setelah usai pertemuan itu, Sang Kepala Cabang menginap semalam di rumah Sang Guru, keesokan harinya dia pulang ke Yogya. Sepanjang malam, sampai di atas pesawat terbang, dia menyiapkan mental untuk melaksanakan semua yang diminta oleh Sang Guru. Dia makin yakin kalau dirinya sanggup. Dia siap melalui ujian itu.
Begitu turun dari pesawat terbang, sambil menunggu antrean bagasi, Sang Kepala Cabang teringat sesuatu, karena saking sibuk memikirkan dan membayangkan pesan Sang Guru. Dia segera menyalakan hapenya, lalu menelepon sopir pribadinya, “Kamu secepatnya ke bandara ya, jemput aku!”
***