Pertemuan saya dengan yoga, adalah perjumpaan gudang tua dengan sebuah jendela.
Sekitar empat tahun yang lalu, saya memutuskan untuk tetirah ke Bali. Ada sekian banyak alasan yang membuat saya melakukan hal itu, tetapi satu hal yang berhubungan dengan tulisan kali ini adalah, di saat itu, saya ingin sekali mendapatkan obat untuk penyakit yang sudah cukup lama mengganggu kehidupan saya. Bersama teman saya bernama Andy Seno Aji, saya berangkat ke Bali, di sana, kami berdua menempati rumah sahabat saya yang sedang tinggal di Swiss, Sigit Susanto, atau yang akrab saya panggil dengan nama Kang Bo.
Saya tidak tahu persis nama penyakit yang saya idap saat itu, dari sekian pemeriksaan yang pernah saya lakukan, mereka, para juru obat, memberi nama yang berbeda-beda. Satu yang saya ingat, penyakit saya disebut dengan nama parkinson parsial. Gejalanya kira-kira seperti ini, saat penyakit saya datang, dari tengkuk sampai bagian atas pantat terasa sangat kaku dan nyeri. Sangat sakit. Kemudian disusul bergeraknya bagian-bagian tertentu di wajah saya dalam waktu yang lama. kadang pipi saya bergetar sampai beberapa menit, kadang kening saya, dan kadang bagian mata. Gejala itu kemudian diikuti oleh bergeraknya bagian tubuh yang lain, tapi yang paling sering adalah bagian tangan. Gerak itu seperi gemetar, diluar keinginan saya, nyaris tidak terkontrol.
Kalau penakit itu kambuh, hanya satu hal yang bisa meredakannya, yakni obat-obatan psikotropika. Bertahun-tahun, saya mengonsumsi obat-obatan itu.
Saya tidak tahu secara persis, apa yang menyebabkan penyakit itu sehingga bersemayam di tubuh saya. Tetapi saya hanya bisa mengira, mungkin karena selama bertahun-tahun, saya mempunyai pola hidup yang sangat tidak sehat.
Bertahun-tahun, saya tidak bisa tidur malam. Jam tidur saya di siang hari, itu pun dalam durasi yang tidak lama. Saya jarang, bahkan nyaris tidak pernah melakukan olahraga. Konsumsi makanan saya pun sembarangan. Saya juga termasuk kategori perokok berat. Dan yang paling parah, saya mengonsumsi secara rutin hampir semua jenis narkoba, dari alkohol, ganja, sampai pil koplo.
Setiap kali badai, begitulah saya menyebut penyakit yang saya derita, itu datang, setiap kali pula saya merasa sangat menderita dan selalu mempunyai tekat untuk sembuh. Saya sadar, saat itu, kalau saya terus mengonsumsi psikotropika, bukan saja penyakit saya pasti akan datang terus, namun tubuh saya pun suatu saat pasti rontok. Hingga kemudian tkat tersebut tersulut sampai pijarnya yang paling benderang. Saya memutuskan untuk tetirah di Bali, tapi sayang, saya juga tidak tahu harus bagaimana ketika di sana. Pokoknya saat itu, saya ingin sembuh, saya ingin pergi, tidak tahu harus berobat ke mana dan kepada siapa.
Sesampai di Bali, entah karena apa, secara berutun, saya selalu berjumpa dengan orang-orang yang mengajak dan bersedia mengajari saya melakukan meditasi. Awalnya saya menolak. Saya tidak tertarik dengan dunia spiritual. Bagi saya, dunia seperti itu, hanyalah sejenis keisengan orang untuk berkelana menghindar jauh-jauh dari realitas kehidupan senyatanya.
Namun ketika saya menyadari bahwa salah satu tujuan penting saya dalam berpergian kali itu adalah ingin menemukan obat bagi penyakit saya, akhirnya saya mengalah. Kepada beberapa orang, saya bersedia belajar meditasi.
Selama berminggu-minggu saya berlatih dengan tekun, dan selam berminggu-minggu itu pula, saya tidak mendapati perkembangan apa-apa. Bahkan saya sampai membuat kesal salah satu guru meditasi saya, karena ketika ia membuka cakra ubun-ubun saya, di saat semua murid mengatakan bahwa mereka mendapatkan sensasi tertentu, saya hanya menggelengkan kepala: Saya tidak merasakan apa-apa.
Akhirnya, karena merasa tidak tahan dengan sakit yang saya derita, saya bilang terus terang ke guru tersebut bahwa saya sakit, dan meminta dia agar mengobati saya. Ia bersedia. Lalu mulailah ia mengobati saya. Ketika pengobatan usai dilakukan, dan kemudian ia bertanya apa yang saya rasakan, lagi-lagi saya menggelengkan kepala: Saya tidak merasakan apa-apa. Guru itu semakin kesal saja, tampaknya.
Saya berpindah ke guru-guru yang lain, tapi hasilnya tetap saja nihil. Namun saya terus saja melakukan latihan meditasi, bahkan ketika saya memutuskan untuk pulang ke Yogya.
Berbulan-bulan sesusah saya balik ke Yogya, saya terus berlatih meditasi, tapi selama itu pula, penyakit saya masih terus menyambangi. Akhirnya saya tidak percaya lagi dengan meditasi. Saya tidak pernah berlatih lagi.
Hingga tibalah saat saya kalut dan merasa menjadi orang yang paling tidak beruntung di hidup ini. Dan entah karena apa, suatu malam, karena tidak tahan lagi merasakan penderitaan saya, saya menangis lama sekali. Keesokan harinya, karena tidak tahu harus bercerita kepada siapa, saya pergi ke warnet, dan menumpahka keluh-kesah saya kepada Kang Bo via surat elektronik.
Kang Bo adalah sosok yang saya pikir mempunyai rasa empati yang sangat tinggi kepada teman-temannya. Saat itu, saya hanya ingin menumpahkan saja seluruh rasa yang saya derita, bukan untuk mendapatkan solusi atas permasalah tersebut. Namun di luar dugaan, Kang Bo bilang, beberapa saat lagi ia akan pulang ke Indonesia, dan ia menyarankan saya agar saya berlatih yoga dengannya. Ia meyakinkan, kalau saya mau berlatih rajin dan serius, penyakit yang saya derita bukan tidak mungkin akan sembuh.
Saya sudah tidak lagi berpikir percaya atau tidak. Saat itu yang ada di pikiran saya hanyalah: saya ingin sembuh! Saya merasa, saya sedang terjun bebas menuju ceruk yang paling dalam di kehidupan ini, dan apapun akan saya raih untuk bertahan dari proses yang menyakitkan itu. kalau ada sulur atau dahan yang melintang, tidak peduli apakah benda-benda itu sanggup menahan saya, pasti akan saya raih. Saya punya kesempatan untuk berpikir lagi, saya hanya butuh tindakan.
Pertemuan saya dengan yoga, adalah perjumpaan ceruk gelap dengan celah cahaya…
***
Kang Bo datang, dan ia menyempatkan untuk mampir ke Yogya selama tiga hari, khusus mengajari saya yoga. Saat ia memperagakan berbagai asanas (gerakan-gerakan di dalam yoga), saya langsung putus asa. Dengan bobot tubuh sekitar 78 kilogram saat itu, ditambah tubuh yang sudah tidak pernah melakukan olahraga, banyak gerakan yang nyaris mustahil saya lakukan. Tapi Kang Bo bilang saat itu, lakukan saja, dan jika saya giat berlatih, saya pasti bisa.
Selama tiga hari itu, setiap hari, di pagi dan sore hari, saya berlatih yoga dibimbing Kang Bo. Ketika jadwal tandangnya ke Yogya sudah habis, Kang Bo menawari saya untuk ikut dia ke Bali, dengan begitu, saya bisa berlatih terus dengannya. Saya manut.
Kang Bo dan saya akan berada bersama di Bali untuk delapan hari. Kang Bo lalu membuat jadwal sebagai berikut: setiap hari, minimal sehari sekali, saya harus berlatih yoga dengannya. Dan nanti di hari kedelapan, saya akan diuji olehnya, apakah saya dianggap bisa untuk berlatih sendiri atau tidak.
Dibimbing oleh seorang guru yoga, kelak kemudian saya tahu, bukanlah dimaksudkan untuk hal-hal yang aneh. Tetapi lebih untuk menjamin bahwa para yogi (sebutan untuk pelaku yoga), terutama yang pemula, mendapatkan porsi latihan yang cukup, tidak lebih dan tidak kurang, dan membimbing agar setiap gerakan berproses menuju gerakan yang sempurna, serta menghidari cedera yang tidak perlu terjadi. Itu saja. Bukan karena alasan-alasan yang lain.
Setiap hari saya berlatih lagi selama di Bali. Kadang dua kali sehari, kadang hanya sekali sehari, selama tujuh hari. Tepat di hari kedelapan, saya diuji oleh Kang Bo. Dan saya dinyatakan lulus, artinya saya dipersilakan latihan sendiri, tanpa khawatir saya mengalami cedera.
Selama lebih dari sepuluh hari bersama Kang Bo, saya merasa tubuh saya nyaman sekali. Napas saya lebih ringan, teratur, dan dapat bernapas dengan lebih dalam. Tubuh saya juga mulai lentur. Rasa pegal-pegal yang kerap hinggap, perlahan mulai lindap. Tidur saya pun mulai nyenyak.
Tetapi selalu timbul rasa nakal di diri saya. Saya pernah bertanya kepada Kang Bo, apakah kalau saya berlatih yoga saya tidak boleh merokok atau minum alkohol, atau berpantang makan-makanan tertentu? Saya sudah mulai ketir-ketir dengan jawabannya. Tapi ternyata Kang Bo bilang, boleh saja, dan silakan. Kang Bo tidak merokok, tidak juga minum minuman beralkohol, dan lebih sering makan sayur dan buah dibanding makanan berdaging, tetapi ia tidak menganjurkan hal seperti itu saya lakukan. “Biarkan yoga bekerja di dirimu tanpa kesulitan-kesulitan yang mengganggu,” begitu kira-kira ucapannya.
Ia hanya menekankan, yang paling penting, saya harus berlatih. Kang Bo bilang, ia berkali-kali emngajari orang beryoga, tetapi masalah mereka pada umumnya hanya satu: malas berlatih. Padahal yoga bukanlah soal kemampuan seseorang melakukan asanas dengan sempurna, tapi soal bagaimana seorang yogi meluangkan waktu untuk berpraktik. Yoga tidak mengabdi kepada hasil, yoga adalah proses itu sendiri.
Ketika kami akan berpisah, pesan itu pula yang selalu diomongkan Kang Bo: berlatih dan berlatih. Dan saya mencamkan benar-benar apa yang dikatakan Kang Bo. Waktu saya bertanya, berapa kali sebaiknya saya berlatih yoga dalam seminggu? Kang Bo bilang, terserah kebutuhan saya. Hanya saja, sekali lagi, konsisten. Janganlah misalnya, minggu ini rajin, minggu depan bolong. Lebih baik berlatih seminggu sekali tetapi ajek, daripada minggu ini setiap hari, dan minggu depan tidak sama sekali. Lagi-lagi, saya camkan pesan itu.
Ketika saya berpisah dengan Kang Bo, ada beberapa gerakan yoga yang belum bisa saya lakukan, tetapi saya tahu teori melakukannya. Terutama adalah pose lilin (kaki di atas dan kepala di bawah). Saya juga belum bisa menikmati proses yang disebut sebagai proses relaksasi. Di akhir seluruh proses beryoga, akan ditutup dengan relaksasi. Seseorang tidur terlentang, bernapas dengan tenang, lalu ‘lap’ ia merasa hilang, seperti tidur bayi, dan ketika bangun akan terasa segar sekali. Saya patok saat itu, saya akan berlatih yoga dua kali dalam seminggu, tetapi sebelum saya bisa melakukan pose lilin, saya akan berlatih setiap hari sampai saya bisa melakukan pose tersulit itu.
Saya balik ke Yogya, dengan tekat menyala: saya akan rajin berlatih yoga.
***
Selama saya di Yogya, saya terus berlatih setiap hari. Dan diluar dugaan, hanya dalam waktu satu bulan setelah saya berada di Yogya, saya bisa melakukan pose lilin! Hal ini sungguh mengejutkan. Saya memang ingin bisa melakukan pose itu, tetapi saya sungguh menikmati proses latihan saya, sehingga target-target itu kadang kala saja melintas. Saya ingin menikmati yoga, saya ingin yoga bekerja di diri saya dengan caranya yang khas.
San di luar dugaan, dalam waktu kurang dari dua bulan, bobot tubuh saya turun lebih dari 6 kilogram. Saya benar-benar heran, padahal saya sama sekali tidak mengurangi porsi makan saya, bahkan cenderung makan semakin banyak. Tubuh saya pun semakin gampang rileks, terasa semakin lentur, dan perlahan, saya mulai bisa merasakan proses relaksasi, sekalipun masih kadang-kadang saja. kadang-kadang saya bisa sampai pada ‘lap’ tidur ala bayi, tapi kadang-kadang tidak. Dan kalaupun bisa, saya butuh waktu yang lama, mungkin barang terlentang selama setengah jam.
Setelah saya bisa melakukan pose lilin dan mulai bisa menikmati sensasi relaksasi, saya mulai untuk meneraturkan jadwal yoga saya, yakni hanya berlatih dua kali salam seminggu. Selain itu, saya mulai suka berburu buku-buku dan film-film tentang yoga, selain tentu saja mencari informasi yoga dari dunia maya.
Lewat hal-hal tersbeutlah, say amerasa dituntun jika menghadapi kesulitan-kesulitan tertentu. Pernah beberapa kali saya terkilir, cedera, karena melakukan gerakan yoga, dan tepat di saat itu, sebuah buku memberi anjuran: Kalau kamu ingin cepat, maka lambatkanlah. Kalau kamu ingin lambat, maka percepatlah. Baru kemudian saya sadari, cedera yang saya alami karena saya ingin terlalu cepat, atau bahkan terlalu lambat di dalam melakukan gerakan-gerakan yoga.
Kang Bo bukanlah praktisi yoga secara formal. Ia bukan lulusan sekolah atau kursus yoga. Ia memang pernah ikut kursus yoga bebeapa kali, tetapi kemudian tidak lagi, dan memilih berlatih dari buku. Dan ketika ia membimbing saya, ia sudah melakukan yoga selama sembilan tahun!
Itu artinya, ia yoga secara cah ndalan, begitulah sebutanku untuk jenis-jenis ketrampilan sesuatu bukan karena lulusan dari lembaga-lembaga formal, melainkan karena terus melakukannya. Sebagai pembanding istilah itu, misalnya saja preman yang pintar berkelahi, bukan karena ia menyandang sabuk beladiri tertentu, tetapi karena hampir saban hari berkelahi. Sebutan itu juga sering saya pakai kalau saya ditanya soal ketrampilan saya menulis, saya bukan lulusan sekolah menulis tertentu, atau fakultas sastra, atau dilahirkan karena kelompok-kelompok sastra tertentu yang sudah mapan, tapi karena saya berlatih dan berpraktik: aku ki mung cah ndalan, ujar saya.
Kang Bo mengakui, tidak semua gerakan yang ia dapat di saat kursus, yang hanya sebentar itu, atau yang ia dapat dari buku yang dibacanya, ia lakukan. Ia mengambil seperlunya saja, yang dianggap sesuai dengan yang ia butuhkan. Menyadari hal itu, saya mulai juga melakukan hal yang sama, ada beberapa gerakan yang diajarkan Kang Bo yang saya tinggalkan karena saya merasa tidak membutuhkannya, dan ada pula gerakan-geralan tertentu yang saya ambil dari buku-buku atau film-film yang saya praktikkan karena saya merasa butuh itu. Hanya sekadar informasi saja, menurut yang saya dapatkan dari internet, ada puluhan aliran yoga, ada 2000 lebih gerakan yoga, dan mustahil setiap yogi melakukan itu semua.
Ketika setahun kemudian Kang Bo ke Indonesia lagi, ia kaget dengan postur tubuh saya yang jauh menyusut dari setahun sebelumnya. Saat itu, bobot tubuh saya turun lebih dari 10 kilogram. Dan setelah saya praktikkan rangkaian gerakan yoga di hadapannya, kembali ia kaget dan memuji, beberapa gerakan saya bahkan lebih bagus dibanding gerakannya sendiri. Namun ia juga bertanya mengapa saya menghilangkan beberapa gerakan, termasuk salah satunya adalah gerakan yang saya sebut sebagai posisi jangkrik (dua tangan menopang tubuh yang mengambang secara horisontal). Saya bilang saat itu, kalau saya tidak butuh gerakan tersebut. Kontan ia menjawab, “Wah dasar murid murtad…”
Tentu ia hanya melontarkan guyon belaka. Toh yoga bukan agama, yang perlu mengenal murtad dan mualaf, lagi pula ia sadar betul, kalau ia pun juga sudah murtad dari ajaran sebelumnya.
Di perjumpaan itu, kami memutuskan untuk memperkaya gerakan yoga ke Bali. Di Bali, ada banyak kelompok-kelompok yoga yang terbuka untuk umum.
Setelah berburu informasi, kami sepakat untuk belajar pada sekelompok yogi yang mengajar di Pantai Sanur, pada pagi hari. Ternyata di sana diajarkan yoga yang betul-betul menguras energi. Gerakan-gerakannya sangat mengandalkan kekuatan otot, semakin terasa berat karena dilakukan di atas pasir yang tidak stabil, dan sinar matahari yang panas.
Karena tanpa persiapan, kami datang tanpa handuk untuk menjaga tubuh kami agar terhindar dari belepotan pasir. Kang Bo beruntung, sebab salah satu yogi yang mengajar, berbaik hati kepadanya dengan meminjaminya handuk. Tetapi saya lebih beruntung lagi, seorang ibu muda yang cantik dan ramah, kebetulan membawa dua handuk, dan dipinjamkannya yang sebuah itu untukku.
Kami benar-benar kepontal-pontal mengikuti kerasnya gerakan yoga yang diajarkan di sana. Tapi saat pose lilin dilakukan, di saat menjelang akhir, banyak mata memandang kagum. Salah satu yogi segera berkomentar, “Wah, dua orang ini pasti sudah lama latihan…”
Dua kali kami mengikuti latihan yoga di Pantai Sanur. Kang Bo berpendapat, latihan yoga di sana terlalu berat. Aku juga sepakat. Hanya saja, aku tertarik dengan gerakan yang disebut suryanamaskara (gerakan menghormat matahari). Bagi saya, gerakan itu sungguh indah dan sempurna. Sebuah siklus gerakan yang dari berdiri hingga kemudian berdiri lagi, melewati beberapa tahap gerak yang akan berguna bagi kesehatan saya. Apalagi di gerakan itu, dipadukan antara gerak dan napas.
Sepulang dari Bali, saya berburu film-film yoga, ingin menemukan gerakan menghormat matahari itu. Akhirnya saya temukan film yang saya cari. Lewat film itu, saya berlatih tiap hari. Tepat di saat yang sama, saya membeli sebuah buku, yang di dalamnya pun ada gerakan yang sedang saya latih itu. Hanya saja, versinya agak berbeda sedikit. Akhirnya aku memutuskan untuk mencampur dua hal itu, hingga menjadi satu kesatuan gerak yang saya anut. Maklum, lagi-lagi, ini yoga ala cah ndalan.
Tahun berikutnya, saya bertemu lagi dengan Kang Bo saat ia balik ke Indonesia lagi. Saat itu, ia bilang kalau sedang berlatih meditasi. Dan menurutnya itu penting. Aku sepakat. Tetapi aku bilang, mungkin aku akan berlatih meditasi lagi kalau umurku sudah empat puluh tahun. Di pertemuan itu, aku memamerkan hasil kreasiku mengenai gerakan menghormat matahari. Kang Bo langsung bilang, “Wah, kamu makin murtad saja…” Tetapi ia mengakui, rangkaian gerakan itu memang benar-benar memikat.
Semenjak saya belajar yoga dari Kang Bo, setiap kali kami berpergian, kami selalu mempromosikan olah gerak yoga kepada siapa saja yang kami temui. Dan kami juga selalu pergi ke Bali, mencari kelompok-kelompok yoga untuk mendapatkan gerakan-gerakan terbaru.
Terakhir, Kang Bo belajar variasi pose lilin dari sekelompok orang yang berlatih yoga di Renon. Sementara saya mendapatkan pose ikan dan pose ikan cucut dari salah seorang kawan di Bali. “Ini gerakan untuk membangkitkan kundalini…” kata kawan tersebut. Saya tidak tertarik dengan kundalini. Bagi saya sederhana saja, dua gerakan itu saya anggap berguna bagi kesehatan saya.
Karena kami berdua belajar yoga versi jalanan, maka untuk nama-nama pun sekenanya saja. Kami tidak peduli dengan nama-nama India. Pokoknya kalau ada gerakan tertentu yang mirip atau merujuk kepada sesuatu, kami sebut saja seperti yang kami kenal. Bahkan di antara kami pun bisa menyebut pose yang sama dengan julukan yang berbeda. Kang Bo menyebut pose katak, saya menyebut pose jangkrik. Kang Bo menyeru pose sendok, saya menyeru pose lilin. Kang Bo bilang pose kapal, saya bilang pose kupu-kupu. Apalah arti sebuah nama, yang paling penting gunanya.
Kini, saya telah memasuki tahun keempat mempraktikkan yoga. Saya tentu telah mengalami perkembangan yang jauh berbeda dibanding ketika saya baru belajar dulu. Tetapi masih ada banyak hal yang sama bagi saya. Malas berlatih, tetap menjadi musuh utama saya. Dan saya juga merasa perlu untuk terus selalu berburu gerakan-gerakan baru. Saya juga merasa masih sebagai seorang yogi pemula.
Di sepanjang saya beryoga, terutama saat saya jalan-jalan dengan Kang Bo ke berbagai tempat, saya menyaksikan bagaiamana yoga telah berguna bagi banyak orang. Ada saudara Kang Bo dari Kalimantan yang hanya belajar dua gerakan saja, penyakit pinggang yang diidapnya selama bertahun-tahun sembuh. Hal yang sama juga saya temui di Kendal, Bandung, Bogor, Jakarta. Di Bali lebih banyak lagi. Saat seperti itulah, saya menyadari betul, yoga bukanlah hal yang terlalu melangit, penuh mantra dan aturan, penuh pantangan dan anjuran, melainkan sebentuk gerak sederhana yang berdaya guna.
Setelah empat tahun itu, badai masih mendatangi saya, namun hanya sesekali, paling-paling sethun sekali. Itu pun sudah tidak sesakit dulu. Saya tidak berharap keajaiban akan mengusir penyakit itu dari tubuh saya. Tapi saya bisa merasakan bagaimana penyakit itu bisa memudar pelan. Saya masih saja susah tidur, terutama tidur malam, tetapi sekaligus saya telah menguasai teknik relaksasi, di mana ketika saya melakukan tidur ala bayi, hanya dengan 10 atau 15 menit, tubuh saya seperti telah melakukan tidur lelap berjam-jam. Saya masih minum alkohol dan merokok, tetapi sudah jauh berkurang. Dan di atas sekian puluh guna yoga yang telah bekerja di diri saya, yang utama adalah, saya merasa semakin sehat dan semakin tenang.
Pertemuan saya dengan yoga, adalah perjumpaan malam dengan pagi.
oOo
Lampiran
Kiat dan Siasat Beryoga
- Yoga adalah laku disiplin, maka musuh utama Anda dalam melakukan yoga adalah rasa malas. Jadikanlah rasa malas sebagai musuh utama Anda.
- Pastikanlah perut Anda tidak sedang kenyang atau juga sedang kelaparan. Kalau Anda sudah makan, tunggulah sampai 2 jam, baru melakukan yoga.
- Pilihlah waktu yang tepat untuk melakukan yoga. Kalau bisa, di saat Anda sedang benar-benar santai, tidak sedang ada janji dan tidak sedang terburu-buru. Pemilihan waktu di pagi hari sangat disarankan. Tepi kalau Anda tidak punya waktu di pagi hari, Anda juga bisa melakukan yoga pada sore atau bahkan malam hari. Tidak ada standar waktu yang baku untuk yoga, tapi biasanya yoga dilakukan antara 45 menit sampai 90 menit. Tergantung berapa banyak gerakan yang akan Anda lakukan. Jadi rentang durasi itulah yang kira-kira Anda butuhkan untuk melakukan yoga.
- Persiapkan tempat yoga dengan baik. Kalau bisa cukup lapang. Pastikan juga tersedia alas lantai, bisa berwujud karpet atau matras, sebab kalau Anda pemula, susah mengantisipasi licinnya lantai, apalagi kalau Anda banyak mengeluarkan keringat. Jangan lupa, perhatikanlah sirkulasi udara, kalau perlu bukalah jendela lebar-lebar supaya sirkulasi udara terjadi dengan baik.
- Pakailah pakaian yang longgar, jangan terlalu ketat. Dan kalau bisa jangan yang berbahan jins atau jenis bahan lain yang kaku.
- Silakan saja Anda menyalakan lilin aroma terapi, atau menyetel lagu-lagu yang menyejukkan hati, jika Anda merasa lebih nyaman dengan hal itu.
- Anda mungkin butuh seorang pembimbing, tetapi menurut saya itu bukan hal yang wajib. Guna seorang pembimbing yang paling penting adalah memberi contoh gerakan yang tepat, dan menjaga Anda supaya melakukannya dengan tahapan yang benar, supaya tidak cedera. Tetapi kalau contoh gerakan bisa Anda dapatkan dari buku atau film, dan Anda merasa bisa melakukannya dengan tepat, Anda tidak butuh seorang pembimbing.
- Sebelum melakukan yoga, lakukanlah peregangan tubuh terlebih dahulu. Misalnya dengan mengibas-ibaskan pergelangan tangan, memutar-mutar bahu, menggeleng-putar kepala, meliukkan badan, memutar perut. Melakukan peregangan sebanyak dan selama mungkin, lebih baik dan lebih disarankan.
- Belajarlah melakukan pernapasan perut. Caranya: ambil napas dan salurkan ke perut. Cirinya: saat napas diambil, perut Anda mengembung atau mengeras. Lakukanlah latihan sesering mungkin, sehingga seluruh pernapasan yang Anda lakukan kelak, adalah pernapasan perut. Pernapasan jenis ini, jauh lebih berguna dan efektif dibandingkan pernapasan dada.
- Mulailah dengan belajar gerakan yang sederhana. Yoga seperti mendaki gunung. Gerakan yang susah hanya bisa Anda lakukan jika Anda sudah melewati gerakan yang sederhana.
- Lebih baik rajin mengulang satu dua gerakan, lalu dilanjutkan dengan gerakan ketiga dan seterusnya, daripada Anda langsung melakukan sekian belas gerakan.
- Akhirilah rangkaian yoga dengan melakukan relaksasi. Caranya: tidurlah terlentang, letakkan kedua tangan Anda tidak jauh-jauh dari pinggul, rentangkan pula kaki Anda, tapi tidak perlu terlalu mengangkang. Pejamkan mata Anda, dan lakukanlah pernapasan perut. Ada banyak cara untuk melakukan relaksasi, tapi hanya saya paparkan dua cara saja yang cukup mudah. Pertama, bayangkanlah Anda menjadi seorang bayi yang sedang terlelap. Ikutilah aliran napas sang bayi yang tenang itu. lakukanlah sampai napas Anda terasa ringan, sejuk, tenang. Kedua, bayangkanlah Anda berada di sebuah tempat yang paling membuat Anda merasa nyaman. Bisa di sungai, di pantai, di bawah pohon, di tengah sawah, di puncak gunung. Bayangkanlah napas Anda menyatu dengan tempat yang menentramkan itu.
- Seusai melaukan yoga, minumlah air putih. Jangan makan dulu, atau jangan merokok dulu. Tunggulah barang sejenak. Sangat dianjurkan pula, setelah beberapa saat, Anda minum teh hijau atau teh melati, bagus juga kalau minum jahe anget. Setelah tigapuluh menit, silakan kalau mau makan atau merokok.
- Untuk memberi semangat dan memperkaya wawasan Anda, silakan baca buku-buku atau menonton film tentang guna yoga. Bisa juga saling berbagi cerita dengan para praktisi yoga yang lain.
- Setiap yogi pasti pernah mengalami cedera dalam melakukan yoga. Kalau hal itu terjadi pada Anda, jangan panik. Cedera yoga bukanlah hal yang perlu ditakuti, hal ini mirip anak kecil yang jatuh saat belajar berjalan. Lakukanlah latihan-latihan yang sama dengan ketika Anda mengalami cedera, hanya kalau terasa sakit, hentikanlah. Lakukan terus hal seperti itu. kelak, dalam tiga atau empat hari, cedera Anda akan pulih. Tetapi kalau Anda ragu, bisa menghubungi praktisi yoga yang sudah berpengalaman untuk memulihkan cedera Anda. Catatan: sepintar apapun seorang yogi, dia bukan tukang sulap. Selalu butuh waktu untuk memulihkan cedera yoga.
Selamat beryoga…
5 Desember 2007