Awalnya, sebagai bagian dari gerakan mahasiswa 98, saya merasa kampanye kembali ke zaman Soeharto itu bikin hati panas. Tapi setelah saya renungkan, kok ya gak apa-apa.
Sebab di zaman Soeharto mungkin ada yang masih kecil, masa ketika tidak perlu memikirkan hal berat. Bermain-main dengan senang hati. Era ketika gedebog pisang bisa dibuat menjadi banyak mainan.
Ada pula yang melewatkan masa remaja, membawa gitar ke mana-mana sambil menyanyikan lagu ‘Terlalu Manis’ sambil nyengkelit dua batang udud di telinga, rasanya dunia sudah cerah.
Kalau sedang malas, selonjoran di lantai sambil memandang foto almarhumah Nike Ardilla sudah adem ini jiwa.
Yang bilang era Jokowi banyak masalah juga tidak bisa disalahkan. Mungkin pas utang lagi banyak-banyaknya. Setiap hari gundah karena habis gajian tiba-tiba uang amblas untuk bayar berbagai cicilan. Yang bilang bagus juga pasti punya alasan kuat. Mungkin pas usia matang, bisnis sedang maju-majunya. Uang seakan gak ada habisnya.
Sementara yang merasa era SBY enak juga wajar saja. Mungkin era itu ketika mereka lulus kuliah, kerja, dan menikah. Saat-saat perjuangan yang indah.
Jika ada yang berpikir bahwa era Gus Dur menyenangkan juga masuk akal. Mungkin di era itu, mereka sedang duduk di bangku kuliah dan bisa liburan hampir sebulan penuh saat puasa.
Bagi saya pribadi, era yang paling tidak enak adalah saat Bung Karno berkuasa. Soalnya saya belum lahir, dan tidak tahu sedang ada di mana.
Jadi nanti kalau Jokowi jadi presiden lagi atau Prabowo yang jadi presiden, ya pasti ada yang enak dan gak enak. Sebab roda berputar. Kadang di atas dan kadang di bawah. Kalau tidak mau sesekali di bawah, jangan jadi roda pedati. Jadilah sapi. Selalu di depan. Tapi hidupnya juga sengsara. Pasti capek. Dan setiap menjelang hari raya Qurban, senantiasa deg-degan.