Saya lupa siapa tokoh di kisah ini. Anda mungkin ingat. Saya kira kisah ini sudah sering kita dengar bersama. Tentang seorang laki-laki yang menemukan apel (atau kadang disebut buah lain, tapi pasti bukan durian), yang sedang hanyut di sungai.
Ringkas cerita, si tokoh ini mengambil apel itu, lalu sebelum memakannya, dia menyusuri sungai mencari siapa pemilik kebun apel. Hingga bertemu. Meminta izin memakan buan apel itu. Setelah mendapatkan izin, baru memakannya.
Moral kisah itu jelas, siapapun dianjurkan untuk memastikan asal-usul dan kepastian sesuatu yang kita makan.
Tapi menurut Gus Baha’, di akhir zaman itu, tak perlu serumit kisah tersebut. Anda tentu pernah mengalami. Misalnya menemukan uang seribu dua ribu, atau lima ribu. Atau sebungkus rokok yang isinya tinggal beberapa batang. Bagaimana cara menyikapinya?
Menurut Gus Baha’ ambil saja. Boleh dikasihkan kepada orang lain, atau boleh dipaksa sendiri. Alasannya ada dua. Pertama, ketika kita memungut uang receh itu, maka kita sedang menangalkan kesombongan diri. Diri yang merasa kaya dan mulia. ‘Dipaksa’ untuk memungut sesuatu yang receh dan dianggap tidak berguna.
Kemudian alasan kedua, kenapa boleh digunakan, yakni melatih cara berpikir kita agar tetap positif kepada orang lain.
“Jangan sampai kamu berpikir orang yang kehilangan uang receh itu tidak mengikhlaskannya. Pikiranmu terlalu jelek kepada orang lain. Pikiran yang jelek seperti itu harus terus dilatih agar bisa memandang orang lain itu mulia.” Begitulah kira-kira pandangan Gus Baha’.
Saya kok sepakat. Anda boleh tidak. Tapi saya tetap ingin belajar memandang Anda punya kemuliaan sekalipun kita berbeda pendapat.