Beberapa tahun lalu, di sebuah pengajian kitab yang terbuka untuk umum, almarhum Mbah Maimun Zubair ketika memberi pengantar tentang kealiman para tokoh di balik kitab tersebut. Tiba-tiba beliau berseloroh kepada Gus Baha’ yang waktu itu juga hadir. “Nek kowe karo aku pinter endi, Ha’?”
Dengan wajah tersenyum, Gus Baha’ menjawab spontan, “Pinter kula sekedhik, Mbah…”
Mbah Maimun tertawa. Demikian juga para hadirin. Kisah itu, saya dapatkan dari seorang sahabat yang tinggal di Yogya, tapi rajin sowan ke Mbah Maimun.
Seloroh tersebut bukan hanya menunjukkan kedekatan Mbah Maimun dengan salah satu santrinya yang punya kadar kealiman mendalam. Kalau tidak diakui kealimannya, rasanya tidak mungkin Mbah Maimun bertanya demikian kepada Gus Baha’. Dan tentu saja menunjukkan hubungan yang ‘istimewa’ antara sang kiai dengan sang santri. Kalau Anda rajin mendengarkan pengajian Gus Baha’, nama orang alim yang paling sering disebut beliau adalah Mbah Maimun, selain itu tentu saja nama ayah Gus Baha’ sendiri.
Di dalam bahasa Jawa, frasa ‘pinter-kula-sekedhik’ bisa diberi dua makna. Pertama, ‘kepintaran saya hanya sedikit’. Jika diberi makna ini, Gus Baha’ tentu saja sedang merendah di depan sang guru. Tapi bisa juga diberi diartikan ‘pintaran saya sedikit’. Tentu saja kalau dalam konteks seperti itu, Gus Baha’ sedang bercanda, mencandai gurunya. Bisa jadi memang Gus Baha’ lebih pintar dibanding Mbah Maimun, tapi tafsir itu tidak relevan dalam humor di atas. Beberapa kali bahkan, Gus Baha’ bersaksi, ciri khas Mbah Maimun itu senang guyon. Ayah Gus Baha’ juga seneng guyon. Makanya Gus Baha’ juga senang guyon.
Di salah satu pengajiannya, Gus Baha’ pernah membahas, seorang kiai yang bijak tidak pernah membedakan antara santri pintar dan santri bodoh. Salah satu yang dimaksud tentu saja Mbah Maimun. Cara pandang seperti itu juga diamini dan diyakini oleh Gus Baha’ sendiri. Itu bukan hanya perkara menghargai santri sebagai sesama makhluk Tuhan. Ada perkara lain…
Begini. Santri yang pintar, tentu saja menonjol. Kalau menonjol, tentu saja mudah terkenal. Kalau mudah terkenal, tentu saja punya akses terhadap apapun, baik itu secara ekonomi maupun politik. Walhasil, ‘karier’ santri seperti ini ujung-ujungnya adalah ‘berpolitik’. Bukan menjalankan laku sebagai orang alim yang mengajar mengaji.
Sementara santri ‘bodoh’ atau supaya lebih enak, mari kita sebut dengan ‘santri-kurang-pintar’, karena tidak terkenal, tidak menonjol, dan tidak punya akses kepada ekonomi, politik, apalagi kekuasaan, lebih memilih pulang ke kampungnya atau tinggal di kampung lain. Biasanya, di kampung, santri-kurang-pintar itu menjadi sosok yang paling pintar. Dia kemudian mengajar mengaji, jadi imam di masjid atau langgar, bikin pondok kecil, atau hal lain semacam itu. Sehingga ilmu yang didapatnya berbelas tahun di pondok menjadi berguna.
Tentu saja ini bukan soal mana jalan yang benar dan yang keliru bagi seorang santri. Perkara ini menunjukkan betapa jauh pemikiran para kiai, termasuk almarhum Mbah Maimun serta Gus Baha’. Pada titik itulah, guna sosial seseorang sesungguhnya tidak ada sangkut-pautnya dengan tingkat intelektualitasnya.
Ada banyak sekali orang di dunia ini, yang pikirannya pas-pasan, untuk tidak menyebut bodoh, tapi laku mereka luhur, menghasilkan banyak hal berguna di kehidupan kita.
Alfatihah untuk Mbah Maimun…