Subuh tadi, sehabis salat berjamaah, istri saya meminta maaf karena dia tidak sempat memasak untuk sahur. Kami berdua hanya sempat minum air putih.
Tentu saja saya memaafkan. Pertama, karena tanggungjawab sahur tidak ada di pundak dia. Saya juga kok tumben ketiduran. Biasanya saya masih melek, dan kami bergantian menyiapkan sahur. Kedua, saya sudah mulai membiasakan diri bahwa sebagian hidup ini sudah bukan soal apa yang saya inginkan atau tidak. Jika saya sedang makan di warung, kemudian saya memesan teh anget lalu yang disuguhkan jeruk anget, saya tidak protes. Dulu saya langsung protes. Minta ganti. Kadang ditambah suara yang sengol. Tapi sekarang tidak. Mungkin Semesta sedang mengingatkan saya dengan caranya bahwa tubuh saya membutuhkan jeruk anget. Bukan teh anget. Itu saja.
Jadi kalau karena ketidaksengajaan kemudian membuat saya tidak makan sahur, ya itu mungkin baik buat saya. Dewasa ya saya? Kandhani kok…
Kemudian istri saya bilang lagi. Mengingatkan. Persis 5 tahun lalu, di hari ini, kami menikah. Saya agak terkejut karena betul-betul lupa. Kemudian rasa haru merambat. Ternyata umur pernikahan kami sudah 5 tahun. Satu kali pemilu.
Lalu kami berdoa. Semoga kami makin baik, bahagia, sehat, dan yang lebih utama: makin mulia. Saya sungguh merasa beruntung menikah dengan seorang perempuan yang luar biasa. Lalu saya tiduran di atas pangkuannya.
Kisah ini terlihat sangat sakinah karena dibuka dengan salat Subuh berjamaah. Padahal semua itu tidak akan pernah terjadi kalau saya tidak terbangun menjelang azan Subuh sambil bilang dalam hati: Nah kan gak sahur…
Hehe…