Pagi ini, di meja makan keluarga kami, ada beberapa buah jeruk yang kalau dilihat, tidak resap di mata. Bungkik, dalam istilah Jawa. Kerdil, keriput, tak segar.
Tiba-tiba saya teringat dua guru saya, yang memiliki pemahaman berbeda tentang satu hal, tapi tidak bertentangan.
Guru Pertama saya, pernah menggelandang saya di kebun belakang rumahnya. Dia memetik sebuah tomat dari pohon tomat yang hampir mati, dan itu satu-satunya buah yang dimiliki. Bungkik. Kendati tidak begitu suka tomat, saya pun memakannya.
“Tahu kenapa saya minta Anda memakan tomat bungkik itu, Dik?” tanya Guru Pertama saya itu dengan tatapan matanya yang tajam.
Saya menggelengkan kepala.
“Pohon yang hampir mati ini, masih memberikan energi terbesarnya untuk menghasilkan buah. Itu artinya, di buah yang Anda makan, ada energi daya hidup besar sekali. Energi untuk terus memberi sesuatu kepada semesta. Jadi kalau Anda makan buah seperti itu, maka Anda akan mendapatkan energi besar. Energi pengabdian dan pemberian.”
Saya hampir bertanya, apakah kalau begitu, pohon yang subur dan memberikan buah terbaik, berarti tidak bagus dikonsumsi? Namun sebelum saya mengeluarkan pertanyaan itu, beliau berucap, “Pohon yang sehat, buah yang segar, juga bagus untuk tubuh kita. Memberikan kesegaran dan gizi yang baik. Buah yang bungkik dan terlihat tidak sehat, memberikan kita transfer energi yang kuat. Semuanya baik.”
Saya mengangguk-angguk. Pura-pura mengerti. Padahal ya butuh waktu lama untuk mencoba mengerti.
Guru Kedua saya, orangnya kalem. Pandangan matanya teduh. Tidak banyak bicara.
Setiap pagi, dia pergi ke pasar. Berbelanja sayur-mayur, buah-buahan, dan lauk-pauk. Tapi bagi kebanyakan orang, caranya berbelanja agak ganjil. Dia selalu memilih sayuran yang layu, dan buah-buahan yang sudah tidak segar lagi.
Keganjilan itu mau tak mau akhirnya pernah menjadi bahan pertanyaan dari kawan dekatnya. Tahu apa jawabannya?
“Semua orang pergi ke pasar mencari sayuran dan buah-buahan yang segar. Terus siapa yang mencari sayur dan buah yang layu dan tidak segar? Pedagangnya juga manusia. Dia juga butuh dagangannya laku. Mungkin saat itu dia tak seberuntung pedagang lain. Hidup sering kali bukan peluang baik melulu. Sayuran dan buah-buahan juga ciptaan Tuhan, baik ketika dia segar maupun ketika layu. Baik ketika ranum sehat, maupun ketika bungkik. Karena yang segar dan ranum sudah diburu banyak orang, saya ‘memburu’ yang layu dan tak segar saja…”
Untuk orang-orang yang punya pemikiran semacam itu, saya hanya bisa diam, dan mencium tangan mereka.
Jadi, saya makan jeruk bungkik di meja makan saya, dengan lidah sosial dan lidah spiritual pas-pasan yang saya miliki.